Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi peredaran uang (money supply) di pasar domestik maupun internasional, seperti adanya kebijakan QE, pergerakan laju inflasi serta faktor fundamental lainnya.
Pelonggaran kuantitatif adalah metode untuk meningkatkan jumlah uang beredar dan menurunkan suku bunga yang mengharuskan bank sentral untuk membeli suatu aset — seperti Surat Utang, sekuritas berbasis hipotek (MBS), dan utang kolateral lainnya (CDO) – bukan hanya meminjamnya dalam transaksi jangka pendek.
Karena transaksi tersebut merupakan suatu pembelian dan bukan pinjaman, bank sentral tidak berkewajiban untuk mengembalikan aset yang sudah dibeli. Selain itu bank sentral yang membeli aset dari suatu bank konvensional atau lembaga lain tidak berkewajiban untuk membayar dalam bentuk uang tunai.
Ini menimbulkan pertanyaan: dari mana bank sentral mendapatkan uang untuk membeli aset tersebut ? Jawabannya: Bank sentral tidak mendapatkan uangnya dari sumber manapun. Mereka hanya perlu mengetikan berapa digit nominal pada rekening penjual aset tersebut.
Pertumbuhan Inflasi
Setiap kali kita mendengar atau membaca sebuah berita terkait penciptaan uang (money creation) atau mencetak uang, pasti yang dibahas selanjutnya adalah inflasi. Inflasi adalah suatu kejadian yang terjadi ketika ada peningkatan pasokan uang, baik itu secara luas ke dalam masyarakat atau ke pasar uang. Inflasi ini terjadi dikarenakan terlalu banyak uang domestik yang membanjiri pasar sementara kuantitas barang masih tetap sama di pasaran.
Inflasi seperti sebuah kejadian yang mengkhawatirkan kita sebagai konsumen atau masyarakat karena secara langsung maupun tidak mengurangi daya beli dikarenakan harga suatu barang menjadi terlalu mahal.
Dengan kata lain, inflasi membuat setiap 1 nilai mata uang yang kita miliki kurang berharga pada hari esok, dikarenakan ketika harga naik, kita tidak akan dapat membeli jumlah barang yang sama seperti yang kita beli hari ini dengan 1 nilai mata uang. Seperti halnya harga bensin ketika dulu kita dapat membeli 1 liter bensin hanya dengan Rp 2.000, namun dikarenakan inflasi, sekarang 1 liter bensin seharga Rp 6.500.
Seperti yang kita pikirkan, inflasi juga menjadi suatu fokus utama bagi investor dan pelaku Forex. Tidak ada yang ingin membeli mata uang yang akan kehilangan nilainya dikarenakan peningkatan jumlah uang beredar. Ini seperti kita memiliki sebuah kaos sepakbola dari klub Liverpool yang sudah ditandatangani oleh Mohamed Salah.
Tentu saja kaos tersebut sangat berharga bukan, karena tidak semua orang dapat memilikinya. Lalu bayangkan jika kaos asli yang bertanda-tangan tersebut dijual secara bebas dan semua orang bisa memilikinya, tentu nilai dari kaos tersebut akan turun daripada ketika hanya ada segelintir orang yang memilikinya.
Jadi saat Anda menganalisis berbagai kekuatan yang menjadi pendorong di pasar Forex, pastikan untuk memperhatikan tingkat inflasi, karena inflasi sering cenderung ke mata uang yang lebih lemah nilainya.
Kita akan membahas lebih lanjut terkait pengaruh inflasi secare mendalam pada tulisan lain. Perlu untuk ditekankan, inflasi biasanya adalah berita buruk bagi nilai tukar suatu mata uang, walaupun tidak semua pengaruhnya dianggap negatif karena inflasi juga mencerminkan pertumbuhan ekonomi suatu negara jika dibarengi dengan tumbuhnya faktor lain seperti tumbuhnya upah pekerja.
Teori Purchasing Power Parity
Teori mata uang yang dikatakan semakin melemah ketika negara yang mengeluarkannya mulai mengalami kenaikan inflasi dan sering disebut teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity).
Teori paritas daya beli ini menunjukkan bahwa kita harus dapat membeli sekeranjang barang yang sama dengan jumlah uang yang sama, terlepas dari negara mana Anda berada. Begini cara kerjanya.
Teori ini menunjukkan bahwa jika Anda dapat membeli sekeranjang barang di Amerika Serikat seharga $ 100 dan nilai tukar antara dolar AS dan Swiss (USD / CHF) adalah 1500, maka Anda harus dapat membeli keranjang barang yang sama di Swiss untuk Fr115. Sayangnya itu tidak sering terjadi.