Paragraf bentuk naratif adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada para pembaca suatu peristiwa dalam urutan dan kurun waktu tertentu (Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, 189: 136).
Titik sentral karangan naratif adalah kisah, melukiskan perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
Selain itu adanya tokoh yang dikisahkan, adanya alur/plot dalam penyampaian merupakan ciri yang dapat dijadikan untuk membedakan karangan naratif dengan bentuk karangan lainnya.
Tetapi yang perlu kamu pahami adalah ada dua jenis paragraf naratif. Pertama, narasi ekspositoris yang menggambarkan rangkaian perbuatan secara informatif dengan tujuan memberi pengetahuan seperti dalam bentuk biografi dan autobiografi.
Kedua, narasi sugestif yang menggambarkan rangkaian perbuatan sedemikian rupa dengan tujuan merangsang daya khayal/imajinasi pembaca, seperti dalam bentuk cerpen dan novel.
Struktur suatu karangan naratif dapat kita lihat dari bagaimana pengarang mengisahkan tokoh dalam bentuk suatu alur atau plot. Secara sederhana struktur naratif terbagi atas: bagian awal, tengah, akhir atau pengenalan, pengembangan penyelesaian.
Bagian-bagian tersebut merupakan suatu rangkaian peristiwa yang saling sambung berkesinambungan dalam hubungan sebab-akibat.
Perhatikan contoh cuplikan paragraf bentuk naratif berikut ini!
“Tiba-tiba ia tertegun. Di sana, sayup-sayup dari jauh, di arah seberang kali sebelah timur, terdengar suara jeritan orang. Tetapi selintas saja, jeritan diputuskan oleh sebuah letusan yang sangat hebat … kemudian hening seketika. Desingan yang banyak mulai reda, tinggal satu-satu letusan di sana sini. Warsinah menegakkan kepala, matanya mulai liar, badannya dihadapkan ke timur, ke arah jeritan datang, kemudian membalik menghadap ke barat, tegak bertolak pinggang, lalu lari, lari menurutkan jalan rel, lari kencang sambil berkomat-kamit.
Dari komat-kamit mulutnya keluar lagi perkataan seperti biasa, tiada berujung tiada berpangkal: …. si bengis lagi, si ganas lagi …. dan ia lari terus, lari lepas bagai selancar saja, tiada kaku kukunya. Dan ketika sampai di jalan pertemuan antara jalan kereta dan jalan raya, ia berhenti sebentar, seolah-olah berpikir, kemudian ia berbelok menurutkan jalan raya. Dari jauh dalam pandangan kabur sambil berlari, ia melihat benda bergerak, berderet sepanjang jalan, tetapi sebelum ia tahu benar apa yang dilihatnya, sebuah peluru datang menyongsong, tepat menembus tulang dadanya.
Warsinah terpelanting, jatuh tersungkur di tengah jalan. Sebentar berontak merentak-rentak, mengerang, menyumpah-nyumpah, terhambur pula sumpah serapahnya: si bengis lagi, si ganas lagi, hitam, kejam … rupanya dalam ia bergelut mempertahankan hidupnya dengan sakaratul maut, kebenciannya kepada si hitam kejam, si bengis ganasnya, masih sanggup mengatasi renggutan tangan Malaikat pengambil nyawa yang akan menceraikan rohnya dengan badan kasarnya. Kemudian lemah tak berdaya….
Warsinah yang sebentar ini masih menjadi kerangka hidup, kini benar-benar sudah menjadi kerangka mati. Mati terhampar di tengah jalan, tiada dihiraukan orang, tidak ada yang menangis meratapi.
Ia meninggal sebagai pahlawan yang dapat dibanggakan oleh bangsa, tiada sebagai kurban pembela kemerdekaan.
Ia mati hanya sebagai korban kebuasan, salah satu kurban dari sekian banyaknya. Ia mati karena nasibnya, demikian sudah menurut suratan tangan, ya, ia mati karena kehendak Ilahi…..